Wednesday, April 13, 2011

Terri Schiavo teaches us how to be grateful

Saran gue putar lagu ini sambil membaca apa yang akan gue tulis. 




Gue baru aja baca sebuah kasus yang gue juga lupa dapet dari mana. Perempuan ini bernama Terri Schiavo. Gue bener-bener tersentuh banget ngebaca kasus dia, mungkin kasus ini uda ga begitu janggal lagi karena kasus ini sempet ngeboom banget di tahun-tahun 1990an akhir sampai tahun 2000an awal. Awalnya dia itu adalah sesosok remaja yang gemuk, beratnya sempat mencapai  90an kg. Biasalah lah yah wanita yang mengidamkan body image yang ideal, akhirnya dia melakukan diet sampai akhirnya ia menikah muda dan beratnya turun hingga menjadi 54an kg aja. 


Beautiful Terri before she was sick. 
Ga lantas gitu aja menguntungkan buat dia. Suatu hari tiba-tiba dia pingsan pada saat dia baru berumur 26 tahun. Suaminya langsung menelepon 9-1-1, tetapi detak jantung dan denyut nadinya sudah hilang. Pihak paramedis melakukan prosedur yang ada dan akhirnya ia di bawa ke rumah sakit. Dia koma selama 2 bulan lebih. Saat ia sadar, ia sudah mengalami kerusakan otak yang parah karena kurangnya pasokan oksigen ke otaknya. Dokter-dokter yang menangani kasusnya semuanya mengatakan bahwa harapan ia untuk pulih sangatlah sedikit. 


Keluarga dan suaminya tidak lantas menyerah begitu saja. Mereka terus berusaha merawatnya selama 15 tahun. segala selang makanan dan alat bantuan dipasangkan ke badan Terri. Ia bisa membuka matanya, tetapi ia seperti mayat hidup yang tidak bisa bereaksi apa-apa. Bagian otaknya yang mengatur kognitif, persepsi dan kesadaran telah rusak parah. 


Pada tahun 1998, suaminya memutuskan untuk ke pengadilan demi tuntutannya mencabut segala kabel makanan dan alat bantu yang ada di badan Terri. Keputusan suaminya ditentang keras oleh pihak keluarga Terri, tetapi akhirnya pengadilan memutuskan bahwa Terri juga tidak mengharapkan untuk hidup lebih lama lagi dengan kondisinya yang seperti ini. Maka dari itu, segala alat bantunya dicabut dan selama 14 hari ia tidak diberikan makanan dan minuman. Akhirnya Terri meninggal pada tanggal 31 maret 2005. Salah satu dokter yang menanganinya bersaksi detik-detik kematian Terri.


She was so beautiful! 
"I told Terri she had many people around the country and around the world who loved her and were praying for her.  She looked at me attentively.  I said, "Terri now we are going to pray together, I want to give you a blessing, let's say some prayers."  So I laid my hand on her head.  She closed her eyes. I said the prayer.  She opened her eyes again at the end of the prayer.  Her dad, who has a mustache, leaned over to kiss her and said, "OK Terri now here comes the tickle." She smiled and laughed and after he kissed her I saw her return the kiss.  Her mom asked her a question at a certain point and I heard her voice.  She was trying to respond.  She was making sounds in response to her mother's question, not just at odd times and meaningless moments.  I heard her trying to say something but she was not, because of her disability, able to articulate the words.  She was certainly responsive. 


The night before she died, I was in her room for probably a total of 3-4 hours, and then for another hour the next morning -- her final hour. To describe the way she looked as “peaceful” is a total distortion of what I saw.  She was a person who for thirteen days had no food or water.  She was, as you would expect, very drawn in her appearance as opposed to when I had seen her before.  Her eyes were open but they were moving from one side to the next, constantly darting back and forth.  I watched her for hours, and the best way I can describe the look on her face is “terrified sadness.” 


Her mouth was open the whole time.  It looked like it was frozen open. She was panting rapidly.  It wasn't peaceful in any sense of the word.  She was panting as if she had just run a hundred miles.  It was a shallow panting. Her brother Bobby was sitting on one side of the bed I was on the other facing him.  Terri's head in between us and her sister Suzanne was on my left.  We sat there and we had a very intense time of prayer. And we were talking to Terri, urging her to entrust herself completely to the Savior.  I assured her repeatedly of the love and prayers and concern of so many people." (Terri Schiavo's Final Hours: An Eyewitness Account).


When she was sick

When she was sick
Ia diduga meninggal karena diet yang dijalaninya hingga ia mengalami dehidrasi yang parah. Hal ini semakin menyadarkan saya bahwa hidup ini bukanlah sebuah permainan. Ia terdiam selama 15 tahun tanpa ada harapan untuk pulih. Marilah kita semua mengucap syukur atas apa yang kita punya sekarang. Ia hidup dalam kesengsaraan, hidup seperti di neraka. Jika ia ingin mati saja, ia tetap tidak bisa menyampaikannya. Ia tidak bisa berpikir tapi jiwanya tetap terperangkap selama 15 tahun, menunggu suatu keajaiban yang tak kunjung datang. Mungkin dengan melepas segala alat bantu dan membiarkannya meninggal ialah suatu keajaiban yang sesungguhnya. :''(  

*mohon maaf kalo ada salah berita.


References : 
The Terri Schiavo Information Page. (2005). Ditelusuri pada tanggal 13 April 2011 dari http://abstractappeal.com/schiavo/infopage.html
Terri Schiavo's Final Hours : An Eyewitness Account. Ditelusuri pada tanggal 13 April 2011 dari http://priestsforlife.org/euthanasia/terrisfinalhours.htm

Picture :
http://www.about-knowledge.com/terri-schiavo/
http://gregbuyck.wordpress.com/2010/02/25/terri-schiavo/
http://www.davidduke.com/general/terry-schiavo-vs-gabby-giffords_22403.html
http://www.folsomvillage.com/WorldArchives/PicturesOfTerrySchiavo.shtm